Rabu, 16 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 38

Aku Mata Hari (38)
Senin, 14 Juni 2010 | 03:29 WIB

Remy Sylado

Ruud memang bicara bunga- bunga. Dan aku terpesona. Tapi taajul, aku bimbang juga. Melintas pikiran, tentang betapa bicara yang terlampau harum seperti bunga, sebut misalnya bunga sedepmalam, dalam kodratnya memiliki batas waktu sekian jam saja selama musimnya. Jadi, bolehkah dipercaya harumnya bunga di mulut manusia? Aku sangsi, bunga tidak bisa mewakili roh di pusat nurani, sementara lidah yang bertugas sebagai perantara perasaan-perasaan gampang dikalahkan—segampang kentut—dalam pikiran-pikiran yang sudah kumuh dari garis mula. Garis mula itu adalah ide gila hendak menaiki Nyai Kidhal.
Aku tunggu saja cakapnya yang berbunga-bunga. Siapa nyana di ujungnya nanti ada kata ”sorry”.
Sambil mengelus-elus perutku, Ruud berkata, ”Aku berharap anak kita yang ada di rahimmu sekarang ini, akan lahir sebagai perempuan yang sama cantiknya dengan ibunya. Oh, sebagai ayahnya, aku akan bangga sekali. Dengarlah, Nak, barangkali dalam kepalaku, di tempat akal budi bersemayam, aku pernah ragu sebagai lelaki tidak berpikir akan menjadi seorang ayah, tapi sekarang dalam hatiku, di tempat aswada bersemayam, aku tidak ragu lagi, karena cinta sudah mengumumkan lewat rahim ini, bahwa aku telah menjadi ayah atas dua orang anak.”
Aku tidak bilang apa-apa. Gerangan pikiranku masih keruh, sulit memilah mana bagian yang mukim pengharapan, dan mana pula bagian yang singgah kekalutan.
Ruud menjemput tanganku lantas mencium jari-jemari, pada jarimanis yang melingkar cincin kawin. Alih-alih benar, selama ini dia kaku, tidak romantis, tapi sekarang malah seperti buaya keroncong gadungan.
”Kira-kira nama apa yang akan kita berikan pada anak kita ini nanti?” katanya, tetap mengelus-elus perutku.
Aku mencoba toleran, untuk menjaga suasana yang terasa kondusif ini.
Kataku, ”Orang jarang memilih nama Hercules.”
”Astaga,” serunya, nanap, ketawa. ”Itu kalau anak kita putra. Kalau putri?”
”Aku suka Pertiwi.”
”Apa itu?”
”Orang Barat menyebut tanahairnya secara lelaki: vaderland, fatherland, patrie. Orang Timur, di sini, menyebutnya secara keibuan: Pertiwi.”
”Kamu suka itu?”
”Ya.”
”Aku tidak.”
”Lalu, kenapa kamu tanya aku?”
Aku merajuk.
Mukaku—aku tak bisa lihat tapi aku yakin—pasti mecucu kecut.
Kalaupun Ruud tidak melihat mukaku di malam yang dihiasi oleh purnama ini, niscaya dia bisa membaca rasa kesal di hatiku lewat intonasi yang aku ucapkan dalam kalimat terakhir tadi. Aku mengucapkan kalimat itu sembari membuang muka.
Buru-buru Ruud mencium pipiku. Dia membujuk. Tangannya pindah ke punggungku, menepuk-nepuk, menyabar-nyabarkan. Dan, aneh bin ajaib, sesuatu yang tidak aku duga, dan katakanlah tidak aku harapkan samasekali di kasad ini, malah sekonyong-konyong diucapkan Ruud dengan jelas sekali.
”Sorry, darling.”
Aku melongo, terlolong-lolong, seperti melihat setan lewat. Ternyata ada kata ”sorry” di mulutnya.
Maka, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Ruud heran melihatku. Dia sapu-sapukan tangannya di mukaku yang bengong, supaya mataku tidak menerawang hampa.
”Hei. Ada apa?”
Saking suka, aku rangkul Ruud, menciumnya, sekilas lupa semua kerikil yang pernah menyandung ketenangan batinku. Sekilas aku tidak berpikir bahwa untuk semua kebenaran yang ada di kulit bumi ini takarannya sementara: ada saatnya manusia menikmati ketawa karena senang, ada pula saatnya manusia mesti membiarkan airmatanya tumpah sampai cadangannya habis karena susah.
Aku sendiri tetap bertanya- tanya di semua saat: sebetulnya apa yang dicari manusia pada hari esok kalau hari kemarin pun berujung pada pemborosan pikiran.
Kalau langit, di bimasakti sana, bisa memberi melalui purnama, aku mau cari hari esokku, sampai kuyup tubuhku ketika kemarau, sampai hangus tubuhku ketika hujan, sementara dalam tekadku akan bersikeras:

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/14/03292678/aku.mata.hari.38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar