Kamis, 24 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 48

AKU MATA HARI (48)
Kamis, 24 Juni 2010 | 03:12 WIB
Remy Sylado

Rupanya pernyataanku ini membuka kemungkinan dia bicara lebih leluasa. Dia melawan.
”Apanya tidak jantan?” katanya.
”Kamu berani berbuat, tidak berani bertanggungjawab,” kataku.
”Memangnya aku berbuat apa?”
”Aku yang bertanya, bukan kamu. Nah, jawablah, supaya aku tahu, ke mana pergimu selama ini dalam lima kali akhir pekan?”
”Kamu sudah tahu, aku tugas.”
”Aku memang tahu, kamu tugas. Tapi aku tidak tahu, tugas apa itu.”
”Kamu tahu, aku opsir.”
”Ya, aku tahu juga itu, kamu opsir. Tapi, kamu ke Semarang bukan sebagai opsir.”
”Kamu gila.”
”Aku gila? Tidak, Ruud. Kamu yang gila. Kamu ke Semarang untuk bisa main gila.”
”Itu tidak benar. Itu fitnah René du Bois.”
”Itu tidak benar? Jadi, yang benar itu bagaimana?”
”Semuanya tidak benar. Semua yang dibilang René du Bois itu fitnah besar.”
”Tunggu, Ruud. Bukan itu yang aku tanyakan. Pertanyaanku ada dua. Pertanyaan yang pertama, belum terjawab, kemana sebenarnya kamu pada lima kali akhir pekan selama ini. Jawab dulu itu. Nanti, kalau itu sudah terjawab, pertanyaanku yang kedua, dengan siapa kamu pergi selama ini. Nah, jawablah secara jantan kedua pertanyaanku itu.”
”Aku sudah bilang, aku tugas, titik.”
”Ya, memang itu sudah berkali-kali kamu bilang.”
”Lalu, kenapa kamu terus bertanya. Ini membosankan.”
”Aku sedang mencocokkan dengan pepatah bahasa Indonesia, ’sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu akan gawal juga’.
”Apa maumu?”
”Mauku, jawablah secara jantan. Kamu tidak jantan.”
”Ah, kamu sudah termakan oleh René du Bois. Si Prancis tolol itu berhasil menghasut kamu.”
”Kamu keliru, Ruud. Si Prancis tidak tolol. Yang tolol itu si Skot.”
”Apa kamu bilang?”
”Tidak usah marah. Aku yang sedang marah. Dan percayalah, ini marahku yang terakhir, dan setelah itu, tamat. Supaya kamu tahu, aku tidak terhasut oleh René du Bois yang kamu sebut si tolol Prancis. Ya, aku tidak dibikin percaya oleh si Prancis tolol di gunung, tapi aku dibikin percaya oleh si Cina jujur di kota.”
”Apa?”
”Nah, itulah buktinya. Yang tolol itu si Skot.”
”Jangan ucapkan lagi itu.”
”Baiklah, aku tidak akan mengucapkannya. Sekarang bicara saja sebagai perwira. Tidak usah bertele-tele. Mengaku supaya enteng.”
”Mengaku apa?”
Aku bangkit dari kursi, berdiri, berteriak, menuding mukanya.
”Kamu iblis!”
Ruud terbengong, termangu- mangu, kaget mendengar makianku yang lantang.
Sekonyong akan mendapat kekuatan mengalahkannya.
”Mengaku saja, siapa perempuan pribumi yang setiap akhir pekan tidur bersamamu di kamar nomer 11 Hotel Swatow.”
Sekonyong pula wajah Ruud putih seperti tersiram kapur, jelek dan menjijikkan. Baru kali ini aku melihat seorang opsir dengan kumis melintang, berwajah busuk.
Aku tendang kursi ke hadapannya.
Dia loyo sebagai sontoloyo.
Giliranku menghujatnya habis-habisan. Sampai-sampai aku lupa, kata-kata jelek apa saja yang sudah muncrat dari mulutku.
Tapi, kata-kata terakhir yang paling aku ingat adalah ancaman padanya untuk berangkat ke jurang.
”Nah, dengar baik-baik, Ruud. Sesampai di Batavia nanti, di depan Tuan Cremer aku minta cerai dengan kamu. Kamu hanya sampah. Bukan manusia.”

27
Jadi, tidak mungkin baik, sampai ayam bisa kentut pun, telingaku tidak sudi mendengar kata penyesalan atau ucapan ”sorry” dari mulut Ruud.
Mulut Ruud itu adalah mulut kakus.
Tak mungkin aku membuka hati pada mulut kakus.
Hatiku adalah buku yang tertutup. Takkan dibuka lagi untuk selamanya baginya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/24/03123456/aku.mata.hari.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar