Selasa, 01 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 25

Aku Mata Hari
Selasa, 1 Juni 2010 | 03:06 WIB

Oleh Remy Sylado
Aku rasa, kalau benar-benar Tuhan masih hidup—yang dikatakan oleh orang Jerman dari Röcken bermarga Nietzsche: bahwa Ia sudah mati pada satu dasawarsa lalu)—kayaknya Tuhan lebih suka pada orang- orang vrijdenker seperti aku yang tegas-tegas menolak keberadaan-Nya, ketimbang orang- orang munafik yang pura-pura tulus menyembah Tuhan, menyebut-nyebut nama-Nya sampai bibirnya lecet, dan ke gereja setiap Minggu untuk minta ampun atas dosa yang dibuat sampai Sabtu lantas memulai dosa yang baru lagi pada Senin.
Jadi, dipikir-pikir, aku tidak perlu turun ke Semarang untuk menemui pemimpin gereja. Kalau aku harus ke Semarang untuk mengurus masalahku, maka lebih kena aku menemui gubernurnya saja. Tentu aku harus melakukan itu, kalau benar-benar Ruud tega melaksanakan apa yang sudah dikatakannya.
Sementara ini, dia memang belum melakukannya. Dia baru mengatakannya. Tapi aku tahu, dia pasti melakukannya. Orang seperti Ruud berhati kayu dan berotak batu.
Sebelum dia melakukan ide gilanya itu, aku harus bergerak cepat. Boleh saja, sebagai tentara dia mengerti cara bergerak cepat dalam berperang, tapi dalam perang yang sedang aku rancang ini, aku tidak mau kalah.
Pagi-pagi, setelah Ruud berangkat kerja, lengkap dengan uniformnya—sehingga orang menyebutnya ”Tuan GG”, singkatan dari Gouverneur Generaal, karena baik rambutnya yang botak serta kumisnya yang melintang mirip gubernur jendral yang lalu, Mr Cornelis Pijnacker Hordijk)—maka aku segera berbicara serius dengan Nyai Kidhal.
Aku ambil salah satu kalung di kotak khusus perhiasanku dan aku berikan itu untuk Nyai Kidhal. Sebelum aku menyerahkannya, aku bertanya sesuatu yang belum pernah aku ketahui.
”Kamu berasal dari Ambarawa sini?”
”Sebetulnya saya dari dusun di atas sana, Mevrouw. Cukup jauh kalau berjalan kaki.”
”Lantas, kalau kamu ke sana pakai apa?”
”Gerobag sapi, Mevrouw.”
”Gerobag sapi?”
”Ya, Mevrouw. Namanya ’songkro’.”
”Apa nama dusunmu itu?”
”Mojosongo. Itu nama candi- candi.”
”Candi-candi apa?”
”Saya sendiri tidak tahu, Mevrouw, apa itu candi Buddha atau Hindu.”
”Oh?”
Lalu, buru-buru aku menyerahkan kalung itu.
”Begini, Nyai Kidhal. Saya kasih ini buat kamu untuk tandamata.”
”Tandamata?”
Nyai Kidhal heran, dan ragu, memandang mukaku dengan mulut terbuka.
”Ambillah,” kataku.
”Apa Mevrouw sudah mau meninggalkan Ambarawa?”
”Tidak. Ambil saja dulu.”
Nyai Kidhal menerima kalung itu.
Tanyanya lagi, ”Apa Mevrouw mau meninggalkan Ambarawa?”
”Tidak,” kataku. ”Saya mau kamu yang meninggalkan kami, pulang ke dusunmu di atas sana.”
Nyai Kidhal terkejut. Dia menatap wajahku dengan sedih, sambil berkata, ”Saya berbuat salah apa, Mevrouw?”
”Tidak. Saya cuma kuatir kalau kamu masih di sini, justru saya yang mungkin berbuat salah pada kamu.”
”Lo? Ada apa, Mevrouw?”
”Tidak apa-apa, Nyai Kidhal. Saya senang kamu. Kamu bekerja dengan baik. Tapi saya akan lebih senang kalau sebelum terjadi apa-apa atas dirimu, kamu sudah pergi dari sini.”
”Saya tidak mengerti, Mevrouw. Saya sedih.”
”Saya juga sedih, Nyai Kidhal. Tapi saya minta, kamu harus pergi sekarang. Sekarang juga. Pulanglah ke dusunmu di atas sana.”
Nyai Kidhal menundukkan kepala, mengusap airmata di pipinya, menahan isak.
Katanya sumarah, ”Kalau memang begitu kemauan Mevrouw, saya manut.”
Lalu aku beri dia dua bulan gaji senilai dua kali satu ketip (10 sen) tambah tiga keping uang logam masing-masing goweng (0,25 sen), doewit (0,85 sen), seteng (3.50 sen).
Dia berlutut di hadapanku, memeluk kakiku, mengucurkan cadangan airmatanya.

47) munculnya Also sprach Zarathustra pada 1883-5
48) menjabat pada 1888-1893

Sumebr : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03060920/aku.mata.hari.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar