Kamis, 10 Juni 2010

haa iki Uang atau Memajukan Pengetahuan?

Uang atau Memajukan Pengetahuan?
Kamis, 10 Juni 2010 | 04:20 WIB

Oleh Mayling Oey-Gardiner
Tanggal 3-4 Mei 2010, saya mendapat kesempatan mewakili Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengikuti pertemuan perencanaan Konferensi Tantangan Penduduk Lansia yang akan dilangsungkan pada akhir 2010.
Konferensi tersebut akan dilaksanakan di Beijing dan New Delhi. Indonesia diundang sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia dan akan memiliki penduduk lanjut usia (lansia) yang tumbuh sangat pesat dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Konferensi ini direncanakan akan disponsori empat Akademi Ilmu Pengetahuan dari Amerika Serikat (AS), China, India, Indonesia, dan Jepang.
Pada saat pembahasan tentang banyaknya penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan negara bersangkutan, saya teringat pada nasib ilmuwan Indonesia dan kegiatan pengumpulan data oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di negara peserta ada data dari berbagai survei yang dibiayai oleh negara yang dapat diakses oleh ilmuwan dari seluruh dunia secara gratis.
Akses secara gratis tersebut kemungkinan mengembangkan dunia ilmu pengetahuan masing- masing bangsa dan dunia, menghasilkan puluhan bahkan ratusan penelitian yang berkualitas diterbitkan dalam berbagai majalah ilmiah terkemuka.
Tidak hanya ilmuwan terkenal yang mampu mengakses data tersebut, tetapi juga mahasiswa, calon ilmuwan di negara masing- masing yang relatif miskin. Itulah keuntungan dari keterbukaan akses pada data yang dikumpulkan dengan dana publik, dana rakyat pembayar pajak dikembalikan lagi kepada rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat juga. Saya hanya tinggal gigit jari.
Membingungkan tatkala pimpinan pertemuan menyarankan agar pembahasan keadaan dan perkembangan lansia di Indonesia dilakukan oleh peneliti AS dengan data yang disediakan oleh suatu perusahaan AS, Indonesian Family Life Cycle, bukan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS dengan dana publik, dari rakyat, atau dari APBN.
Saya sangat tersinggung, tetapi tidak dapat berkata karena alasannya amat sederhana. Data yang dikumpulkan tentang Indonesia oleh perusahaan AS dengan dana yang sejatinya berasal dari pembayar pajak AS itu disediakan di web secara gratis.
Pada bulan Mei tahun 2010 BPS melaksanakan sensus penduduk Indonesia keenam sejak Indonesia merdeka. Sensus Penduduk 2010 ini berbeda dari sensus penduduk sebelumnya dari segi cakupan dan kelengkapan informasi yang dikumpulkan. Usaha Sensus Penduduk 2010 ini membutuhkan dana sebanyak Rp 3,3 triliun, tahun ini saja, suatu jumlah yang tidak kecil.
Di samping itu, BPS juga merencanakan pengumpulan data kependudukan melalui dua survei lain. Kedua survei tersebut merupakan kegiatan tahunan, yaitu Susenas dan Sakernas. Kedua sumber data ini biasanya sangat kaya informasi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan ketenagakerjaan.
Hasilnya merupakan informasi yang banyak ditunggu tentang kemiskinan dan ketenagakerjaan, termasuk pengangguran. Kedua survei ini juga menggunakan dana publik yang tidak sedikit.
Setelah pengumuman jumlah penduduk menurut Sensus Penduduk 2010, angka kemiskinan hasil Susenas, angka pengangguran dari Sakernas, maka beberapa tabulasi akan diterbitkan oleh BPS.

Sulit terjangkau

Dalam suatu terbitan sebenarnya tidak terlalu banyak data yang disajikan oleh BPS, dijual dengan harga yang cukup mahal, umumnya tidak terjangkau oleh mahasiswa atau peneliti di perguruan tinggi.
Namun, lebih tidak terjangkau lagi apabila peneliti ingin melakukan analisa yang agak canggih, memerlukan apa yang disebut ”data mentah” untuk beberapa tahun. Data mentah juga dijual oleh BPS dengan struktur harga sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPS.
Bayangkan seorang peneliti ingin mengetahui perkembangan suatu gejala kependudukan dan memerlukan akses pada data mentah Susenas dan atau Sakernas untuk beberapa tahun.
Data Susenas terdiri dari dua set: kor dan modul. Kalau seorang peneliti ingin mempelajari perubahan kemiskinan yang dikaitkan dengan berbagai karakteristik penduduk serta memerlukan data kor dan modul yang memungkinkan analisa kemiskinan, ia memerlukan dana Rp 30 juta hingga Rp 40 juta untuk memperoleh data mentah untuk 1 (satu) tahun saja.
Bandingkan dengan harga data mentah tersebut dengan gaji seorang dosen pegawai negeri sipil (PNS) yang telah mencapai guru besar. Umumnya, ia telah sekolah lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikan S-3, dan telah berkarya selama 20-30 tahun. Gaji dasar mereka adalah Rp 3,5 juta per bulan.
Mana lebih penting? Penerimaan PNBP hasil penjualan data oleh BPS atau kontribusi BPS kepada dunia pengetahuan dalam mencerdaskan bangsa?
Mayling Oey-Gardiner Peneliti; Ilmuwan Sosial

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/10/04202784/uang.atau.memajukan.pengetahuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar