Jumat, 04 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 27

Aku Mata Hari
Kamis, 3 Juni 2010 | 02:38 WIB
Oleh Remy Sylado
Di luar itu, aku pun sudah membaca puisi-puisi Baroque dari penyair Friesland terpandang, Gijsbert Japicx.
Maksudku mengingat itu adalah untuk berbangga pada bukti bakat, bahwa sejak kecil aku sudah terbiasa terlatih mengenal imajinasi. Dalam anggapanku, berpuisi merupakan suatu kepandaian manusia memanfaatkan imajinasi ke dalam tantangan kreatif merangkai kata- kata terpilih dan membangunnya menjadi seni. Jadi, kalau nanti akan menjawab pertanyaan Ruud tentang di mana Nyai Kidhal, aku akan merangkai kata-kata terpilih, yang tersimpan di dalam ingatanku, untuk menjadi cerita yang meyakinkan.
Selain itu, manakala aku berkata tentang bagaimana kata-kata yang diucapkan itu bisa meyakinkan, maka dengannya aku sedang mengingat pula bakatku yang satunya lagi. Juga, waktu aku kecil, aku sudah bermain drama di sekolah. Di saat teman-teman seusiaku hanya bermain sandiwara Natal yang itu-itu melulu, seputar kandang hewan di Betlehem, aku sudah bermain teater, adegan menari dalam drama musik ”Köningskinder” karya Engelbert Humperdinck, di Jerman dan Prancis pada musim libur sekolah.
Karenanya aku yakin bicaraku nanti dengan Ruud akan merupakan cerita pintar, kreatif, dan meyakinkan dari paduan dua bakat imajinasi antara puisi dan teater.
Ruud berkata lagi, ”Kamu belum menjawab pertanyaanku, di mana Nyai Kidhal?”
”Oh, ya,” kataku lancar, sesuai dengan rancangan kata yang tersimpan dalam ingatanku. ”Nyai Kidhal dijemput adiknya, pulang. Kata adiknya, Nyai Kidhal harus pulang ke kampung, sebab ibunya sakit disengat tawon-tawon, dan ayahnya diseruduk sapi, kedua-duanya kritis. Adiknya membawa kedua orangtuanya ini ke dukun, tapi dukunnya sendiri sakit. Dus, semua anak disuruh pulang, merawat orangtua.”
Saking lancarnya ceritaku itu, Ruud malah tidak percaya, wajahnya kejat, dan dia menyindir, kemudian mengejek.
”Wah, kasihan,” katanya. ”Kenapa adiknya tidak bilang sekalian bahwa dukunnya bukan sakit, tapi dukunnya itu dipatuk ular lantas mati?”
Sialan, omongannya itu langsung membuat aku kelabakan, bicaraku sempat tersendat, tidak bisa lancar, namun toh tidak kehilangan akal. Aku memasang mimik cemberut untuk menunjukkan rasa tidak nyaman karena diejek begitu.
”Kamu tidak percaya omonganku?” kataku menggertak, kira-kira sempurna untuk sebuah penampilan ngeyel dalam cara pandir menegakkan benang basah atau menggergaji air. ”Kalau kamu tidak mau percaya omongan orang, tidak usah bertanya.”
Dengan gertakan seperti itu, aku kira—demikian harapan yang selekasnya bertengger dalam pikiran—bahwa Ruud akan terkesima, lantas dia bisa menghargai omonganku. Tapi ternyata harapanku itu meleset. Ruud bahkan makin meremehkan dengan ejekan yang nyelekit.
”Kapan terakhir kamu bermain ’sluip door’?”
Aku jengkel. Aku bikin diriku mutung.
”Apa maksudmu?” kataku.
”Maksudku?” katanya balik bertanya. ”Oh? Aku mau bilang, aku bukan anak cewek yang biasa bermain ’sluip door’. Aku tidak tahu di mana letak rasa senang dari permainan itu. Begitu juga sekarang, aku belum menemukan cara untuk menjadi senang mendengar ceritamu.”
Astaga, aku terperanjat. Gambaran ideal yang aku buat dalam angananku menyangkut kepandaian berimajinasi, benar-benar gagal. Lantas, sekarang bagaimana? Sebelum aku bisa mencari jalan keluar, Ruud lebih dulu mendesak dengan suara kasar.
”Sudahlah, Margaretha, jangan bohong. Kamu tidak punya bakat untuk berbohong. Bilang saja terusterang, di mana Nyai Kidhal. Pasti Nyai Kidhal pergi dari rumah ini sebab kamu menyuruhnya.”
Aku tertempelak. Dia bicara benar. Rupanya dia mengetahui isi pikiranku. Jika begitu, dalam adegan yang aku kira pintar dan bisa meyakinkan, nyatanya salah.

53) hidup pada 1603-66
54) hidup pada 1854-1921
55) mainan anak-anak usia 7-9 tahun di Belanda yang kemudian dikenal juga di Indonesia, disertai nyanyian:
sluip door, sluip door
driemal, driemal onder door
de laatste word gevangen

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/03/02382264/aku.mata.hari.25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar