Jumat, 04 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 28

Aku Mata Hari (28)
Jumat, 4 Juni 2010 | 03:15 WIB
Oleh Remy Sylado
Meski begitu, secepatnya aku berpikir untuk membela diri dengan cara yang tepat. Cara paling baik, yang menurutku paling pas di saat sulit begini, adalah marah. Maka suara yang keluar dari mulutku berikut ini menyentak kaku.
”Apa urusannya aku menyuruh dia pergi?”
Dia tidak termakan. Jawabannya mengimbangi marahku. ”Justru itu, Margaretha, aku ingin mendengar alasanmu: apa urusanmu menyuruhnya pergi.”
Aku berteriak keras, menghardiknya, ”Aku tidak menyuruh!”
Ruud tidak hirau, hanya bergeming, tapi memandangku dengan airmuka menyepelekan.
Aku kesal, cepat-cepat membawa Norman John ke kamar, menghindar diri dari kekonyolan yang mungkin makin tidak karuan.
Dia menyusul, masuk ke kamar, berdiri dengan menonggak pinggang, sangat kolonial.
”Aku percaya kamu tidak bodoh, Margaretha. Kamu pasti menyuruh itu bedinde itu meid pergi ke suatu tempat.”
Aku membentak. ”Tidak!”
Dia tak peduli. Dia memaksa. ”Ke mana dia, Margaretha.”
”Aku bilang, aku tidak tahu. Dia pergi dengan adiknya.”
”O, ya? Adiknya menjemput ke sini?”
”Ya.”
”Luar biasa.”
”Masabodoh.”
”Jadi kamu kira ceritamu bisa meyakinkan.”
”Kalau tidak percaya, ya sudah.”
”Aku memang tidak percaya. Aku akan lebih percaya kalau kamu bilang, kamu menyuruh dia pergi, dan kamu tahu ke mana perginya.”
”Aku sudah bilang, dia dijemput adiknya, dan aku tidak tahu dia pergi ke mana.”
”Kamu tidak tahu?”
”Persetan.”
”Kalau begitu, apa yang kamu tahu?”
”Persetan. Pergi saja kamu ke neraka.”
”Oh-oh, kita sama-sama vrijdenker. Kita tidak percaya ada neraka dan ada surga.”
Aku berteriak sekeras-kerasnya, gregetan, menyerapah dengan kata yang sudah dua kali muncrat dari mulutku.
”Persetaaaaan!”
Dia termangu. Kemudian dia keluar ke luar.
Aku lega, plong, terengah- engah.
Tiba-tiba dia berbalik, dan berdiri di pintu. Mukanya jadi mengerikan. Sulit mengatakan dengan imajinasi tertentu untuk memadankan mukanya itu dengan salah satu penghuni kebon­binatang.
”Kamu tahu, Margaretha, aku tidak percaya lagi padamu, sebab kamu pembohong.”
Dan, dia pergi.
Aku tercenung, teringa-inga.
Kalau memang risikonya begitu, bahwa aku pembohong, dan tidak dipercaya lagi, apakah aku lantas mengemis-emis supaya dia mau percaya padaku?
Huh, tidak.
Itu sangat melecehkan harkat kewanitaanku.
Mengemis-emis untuk suatu rasa dipercaya, sungguh bukan tindakan seorang betina.
Kalau sampai begitu, perang saja, dan tidak usah berpikir damai. Sebab, persoalan paling pokok, memang hatiku sudah terluka. Ruud telah melecehkan dua perempuan sekaligus, aku dan Nyai Kidhal. Pelecehan selalu terjadi ketika lelaki merasa punya kuasa, punya wewenang, punya uang, dan dengan itu menekan wanita untuk takluk padanya. Karenanya, untuk melawannya, perempuan harus menjadi betina, mengambilalih garizah yang melengket dalam tindaktanduk lelaki. Sekarang tahun-tahun terakhir abad ke-19 menuju abad ke-20 di mana perempuan harus hadir, tidak tersingkir, sebagai betina tulen melawan dominasi lelaki.
Kalau Ruud berpikir bisa menaklukkan perempuan betina di abad depan yang sedang berjalan, dia keliru besar, sebab sekarang di pengujung abad ke-19 ini aku sudah teguh berkata: Kalau lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa menyesuaikannya? Tinggal dua tahun abad berganti. Di abad itu, entah di mana, dalam keadaan bagaimana, aku percaya akan memainkan rolku untuk mempermainkan lelaki. Titik-titik ke situ semakin terang. Gara-garanya Ruud sendirilah yang mendorong. Sekali lagi dia sudah melukai perasaanku, dia menggiring aku untuk berpikir balas dendam, dan mendorong aku untuk bercerai. Makanya, dia akan menerima upahnya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/04/03151927/aku.mata.hari.28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar