Minggu, 06 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 30

AKU MATA HARI
Remy Sylado | 30
Minggu, 6 Juni 2010 | 03:18 WIB

Dia bekas kopral yang dipulangkan dari perang di Aceh dua tahun lalu sebab matanya picek terkena pelor, lantas kawin dengan orang Desa Mendut dan tinggal di Magelang tapi sebulan sekali mengurus rumah opsir- opsir Belanda di Ambarawa.
Setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah opsir di selatan, dia ke sini, ke rumah opsir yang dipanggilnya ”Tuan GG” untuk mencatat keperluan-keperluan apa saja yang dibutuhkan.
Dia mengetuk pintu.
Aku membuka pintu.
Dia ucapkan kalimat yang tadi sudah diucapkannya kepada Ruud, dan kelihatannya agak nanar bahwa yang menyambutnya bukan Nyai Kidhal melainkan aku sendiri.
Dengan santun dia berkata, ”Apa saja yang Mevrouw perlukan untuk dapur pada bulan depan ini?”
Jawabku menyimpang, ”Bukan hanya urusan dapur saja yang saya perlukan, Didik. Yang penting sekarang ini, saya perlu membuat perasaan saya tidak sumpek dibebani oleh pikiran- pikiran berat.”
”Lo? Ada apa, Mevrouw?” tanya Didik, dan segera menyimpulkan apa yang tadi terkesan nanar di wajahnya. ”Saya memang tidak melihat babu Nyai Kidhal.”
”Bukan,” kataku segera pula. ”Bukan itu soalnya. Persoalan berat dalam pikiran saya berpangkal pada rasa percaya di hati saya terganggu. Tiba-tiba saya ingin mengalami ekstase, melupakan beban-beban itu.”
Didik termangu.
Bersamaan bunyi kicau burung-burung perenjak terdengar ramai di tanaman kembang sepatu depan rumah. Itu menjadikan ilham pada kalimatku berikut ini.
”Saya cemburu melihat burung-burung perenjak berkicau di ranting-ranting kembang sepatu, seolah-olah girang menyanyi dan menari di situ.”
Didik menyimpulkan omonganku secara sederhana. Katanya lugu, ”Apa Mevrouw ingin menyanyi dan menari?”
Aku ketawa. Dengannya aku menutupi kesenduan di dalam sukma. Kataku, ”Manalah mungkin orang menyanyi dan menari ketika orang itu tidak menemukan jalan menuju pembebasan terhadap rasa benci?”
”Saya tidak mengerti soal seni-seni menyanyi dan menari, Mevrouw. Tapi saya lihat, kesedihan biasa diungkapkan orang melalui kesenian.”
”Kesedihan?”
”Ya, Mevrouw, maaf, barangkali Mevrouw sedang sedih?”
”Ah, kamu tidak mengerti. Yang sedang saya alami dalam perasaan saya sekarang ini, bukan kesedihan, tapi kebencian.”
”Oh!” Didik bengong. ”Kalau itu persoalannya, saya harus menjaga mulut, supaya saya tidak bertanya. Tapi kalau Mevrouw yang bertanya, soal bagaimana semua perasaan, antara keceriaan ataupun kesedihan, dapat menjadi kesenian dengan nyanyi dan tari, maka sedikit- sedikit saya tahu jawabnya.”
”Apa yang kamu ketahui?”
”Saya bisa tunjuk tempat orang berlatih tari dan nyanyi yang menggambarkan sedih dan ceria.”
”Di mana itu?”
”Istri saya di Magelang punya keluarga yang sering menari Jawa di kraton Yogyakarta. Keluarganya itu bernama Mbah Kung.”
”Maksudmu keluarga istrimu ada yang menari dan menyanyi di kraton Yogyakarta?”
”Ya, Mevrouw, di kraton Yogyakarta, di hadapan Sultan.”
”Maksudmu Sultan, Raja Jawa?”
”Ya, Mevrouw, Sri Sultan Hamengkubuwono.”
”Wah, menarik. Saya ingin lihat.”
”Kalau Mevrouw mau, kapan- kapan, saya bisa antar Mevrouw ke sana.”
Tiba-tiba aku bicara nekat. Kataku, ”Tidak usah kapan-kapan. Sekarang juga, antar saya ke sana. Ke Mbah Kung itu.”
15
Ketika aku memutuskan berangkat sekarang juga, tidak menunda-nunda waktu, sebab menunda waktu bisa mengubah pikiran, maka bersamaan dengan itu terbayang di mataku Ruud akan kelimpungan mencari aku. Setidaknya begitu harapanku.
Aku rasa meninggalkan rumah dengan cara begini bukanlah ide yang baik. Tapi aku rasa juga ini bukan waktu yang tepat untuk menimbang-nimbang perkara baik dan buruk istri meninggalkan rumah, jika istri berada dalam keadaan marah karena kesalahan suami yang keterlaluan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/06/0318416/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar