Senin, 07 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 31

AKU MATA HARI
Senin, 7 Juni 2010 | 06:24 WIB
Remy Sylado
Oleh karena itu, apologia yang mesti dibuat untuk menjawab perkara ini, adalah tindakan ini terpaksa diambil dalam keadaan darurat. Di dalam keadaan-keadaan darurat, istri yang secara kodrati ditempatkan sebagai makhluk yang lemah, haruslah dibolehkan bertindak tegas terhadap kegilaan suami, untuk menunjukkan bahwa dalam kodratnya yang dianggap lemah itu, istri bisa tampil amat tedas melebihi baja dan mengembari berlian.
Jadi, tidak peduli nanti senja, kalau Ruud ke rumah, dia akan kaget Mrs MacLeod tidak ada di rumah.
Dengan keretaapi yang berangkat pada jam 09.00 kami ke Magelang dulu, ke rumah Didik, dan dari situ kami ke desa asal istri Didik di Mendut, dan kemudian ke sanggar kesenian di pedalaman pinggir Kali Elo yang dipimpin oleh Mbah Kung.
Aku memakai sarung goyor yang biasa membalut tubuhku sejak aku tinggal di Jawa. Aku pun menata rambutku menurut kebiasaan sehari-hari dari kebanyakan perempuan Indonesia waktu itu, dua kepang yang dijulai di depan dada. Dengan demikian aku menjadi bagian yang menyatu dengan penampilan umum antar perempuan Indonesia.
Orang-orang pun yang kebetulan melihat aku ke tempat latihan tari-nyanyi itu, tidak memandang aku sebagai orang gila: bulek bersarung Jawa tanpa kutang tanpa kasut.
Ke tempat latihan kesenian itu tidak seperti yang aku bayangkan. Kami harus naik songkro dari desa Mendut, melewati hamparan sawah yang luas ke arah Borobudur yang jalannya tanah keras berlapis batu seadanya, kemudian masuk ke jalanan sempit dan rindang dipenuhi pohon-pohon besar, dengan sekali-sekali terlihat juga kebun-kebon palawija.
Setiba di tempat tujuan, matahari sudah hilang di barat sana. Kami tiba di sebuah lembah di pinggir Kali Elo yang mengalir di bawah, kira-kira 15 meter di tanah datar tempat aku berdiri.
Sejak jam 17.00 sudah ada orang-orang yang menabuh gamelan, memainkan beberapa gending. Membedakan gending yang satu dengan lainnya ditentukan oleh jumlah keteg pada bagian kenong dalam masing- masing bunyi gong.
Sekitar jam 20.00 ada empat lelaki menggotong perempuan di atas tandu, membawanya ke tengah pelataran. Itulah pertunjukan yang sedang dilatihkan. Aku tertarik sekali melihat adegan itu. Menurutku, perempuan di atas tandu itu lumayan cantik dalam memainkan perannya. Dia turun dari tandu, kemudian menari di tengah lelaki-lelaki, melepaskan baju yang menutup dada sehingga payudaranya yang tidak terlalu besar, kira-kira sama idealnya dengan ukuran payudaraku, bebas merdeka diterpa sepoi angin malam.
Sekonyong aku terpikat, ingin menarikan gerakan-gerakan yang diperagakan oleh penari perempuan itu. Tumben aku teringat pada patung Dewa Siwa yang menari dengan empat tangan di Rijksmuseum.
Tanpa sungkan aku meminta kepada pemimpin sanggar untuk ikut menari. Dengan senang hati pemimpin sanggar itu mempersilakan aku melakukannya.
Dalam beberapa putaran— aku tak ingat sebab benar-benar menikmati—serasa tubuhku melayang dalam ekstase. Aku merasa tubuhku telah menjadi medium roh Siwa sang raja penari.
Usai melakukan tarian itu aku bercakap-cakap—masih dengan bantuan terjemahan oleh Didik dan istrinya—tentang pengalaman tubuhku dalam tarian tadi. Aku menerangkan itu dengan sebuah kata yang muradif dengan keadaan ekstase, yaitu kata bahasa Belanda ’geestvervoering’, tapi sulit merincinya. Akhirnya setelah menerangkan sifat-sifat dari kosakata itu, Didik mengartikannya ’kesurupan’. Padahal kalau aku bisa mengatakannya dalam bahasa Inggris, maka istilah Inggris lebih irit sukukatanya, yaitu ’trance’.
Aku bilang, tubuhku telah menjadi medium Siwa. Orang- orang yang bersila di sekelilingku, mengangguk-angguk, entah apa artinya. Suatu saat nanti, aku belajar dari pengalaman ini, bahwa jika orang Jawa menganggukkan kepala dan berkata ’inggih’, tidaklah itu berarti membenarkan pikiranku, tapi sesungguhnya itu sekadar tampil santun untuk menghargai pikiran orang yang berbeda.

Sumber :  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/07/0624575/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar