Kamis, 10 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 34

AKU MATA HARI
Kamis, 10 Juni 2010 | 06:08 WIB

Di samping itu, penonton yang berasal dari golongan orang-orang berkedudukan tinggi, tidak peduli pada soal mutu dalam seni: bagus atau tidak. Yang penting pelakunya cantik atau tidak, bisa atau tidak diperdayakan kemudian diberdayakan. Begitu kata Mbah Kung. Konon ini leluri lumrah, para pejabat tinggi yang berada di luar rumah, mesti memanfaatkan kesempatan kesendiriannya dengan meminta kepada bawahannya seorang ’bantal guling bergerak’ menemani tidurnya.
Kiranya sebentar lagi aku akan bertemu dengan pejabat tinggi seperti itu. Gambaran yang diberikan Mbah Kung kepadaku cukup menggelitikkan penasaranku.
Kata Mbah Kung, ”Semua pejabat tinggi berkecenderungan terhadap dua –ta, yaitu wani-ta dan har-ta.”
Aku bertanya, ”Bagaimana itu?”
Dan jawab Mbah Kung sangat cerdas, ”Wanita gampang tergoda oleh harta. Jadi tidak heran, di otak pejabat tinggi selalu dua –ta itu yang dipikir.”
Menarik nian.
Aku menyimpulkan—mudah-mudahan tidak keliru—bahwa harta pejabat tinggi itu diperoleh dari korupsi—demikian aku baca runtuhnya VOC dulu sebelum menjadi Nederlandsch IndiĆ« itu karena korupsi—dan dengan harta hasil korupsi itu mereka berpestapora dengan wanita-wanita.
”Ah, urusan orang-orang tua,” kataku sendiri. ”Lebih indah dunia anak-anak.”
Ketika aku berkata begitu, itu terjadi di esok harinya ketika beberapa anak di padepokan Mbah Kung bermain-main sambil menyanyi—yang disebut ’dolanan lare’—dengan riang ria:

Eh dhayohe teko
Eh beberno kloso
Eh klasane bedhah
Eh tambalno jadah
Eh jadahe mambu
Eh pakano asu
Eh asune mati
Eh guangno kali.
Aku tepekur. Betapa masa kanak hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Sertamerta aku ingat masa kanakku. Pada ulang­tahun ke-6, Ayah memberi hadiah miniatur kereta kambing, dan aku pandai memainkannya.
17
Aku tunggu tuan, atau mungkin juga tuan-tuan, pejabat tinggi tersebut datang ke Borobudur.
Seperti apakah dia, atau mereka?
Apakah mereka berkumis-kumis.
Atau apakah pejabat paling tinggi di antara mereka itu berkepala botak?
Kalau botak, aku bosan, sebab Ruud yang saban hari tidur di sebelahku dengan bunyi dengkur mirip babi bunting, juga botak. Aku kerap membayangkan—membayangkan dengan prihatin—bahwa botak mengingatkan pada bola yang ditendang-tendang di lapangan.
Ternyata tidak.
Yang bernama J. Th. Cremer, pejabat tinggi dari Batavia itu, punya rambut. Tidak tua, tapi juga bukan muda. Penampilannya mengingatkan pada sosok Yidis, turunan-turunan Yahudi di Amsterdam: memandang semua keadaan dengan untung- rugi.
Dia dikawal oleh tiga orang bulek lain, berjalan mengelilingi Candi Borobudur, sementara Sri Sultan Hamengkubuwono menunggu di bawah. Kedatangan Cremer ke sini dalam rangka hendak mempromosikan Borobudur sebagai bangunan ajaib untuk dikunjungi oleh orang- orang Eropa.
Setelah selesai melihat-lihat keadaan candi, Cremer turun ke bawah, duduk bersama Raja dari Yogyakarta hendak menyaksikan pertunjukan di situ. Matahari sudah terbenam, dan semua obor yang telah ditancapkan ke tanah di sekeliling pelataran pertunjukan dinyalakan, lalu muncul seorang yang bicara menjilat-jilat pada tuan-tuan itu sebagai kata sambutan dengan kata-kata berbunga yang cuma dia sendiri merasa bagus.
Dan, giliranku menari bersama Astri....
Persis seperti harapanku, sehabis menari Cremer menyuruh salah seorang stafnya yang bercakap Belanda dengan dialek Limburg, menemui aku, dan meminta aku menemui Cremer. Dalam sekejap saja, melalui dua- tiga kalimat yang diucapkan oleh Cremer, aku sudah menemukan pembenaran atas teori tadi tentang dua –ta tersebut.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/10/06082521/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar