Kamis, 10 Juni 2010

haa iki Bulan Keramat Pencandu Bola

Bulan Keramat Pencandu Bola
Kamis, 10 Juni 2010 | 06:09 WIB

Oleh Anton Sanjoyo
Tiap kali memasuki putaran final Piala Dunia, sebagian besar manusia di muka bumi ini, terutama pencandu sepak bola, seperti menyambut bulan keramat. Di banyak negara—tak sebatas 32 negara elite sepak bola yang ikut pergelaran sport paling masyhur itu—orang melupakan segala masalah, mulai dari problem domestik rumah tangga hingga problem politik-ekonomi negara yang paling pelik sekalipun.
Di Indonesia, puluhan juta orang pada bulan keramat ini paling tidak bisa melupakan dulu kebusukan dan sandiwara politik para pemimpin negara yang bikin perut mual. Korban lumpur Lapindo yang sampai kini belum jelas nasibnya bisa menghibur diri sejenak menyaksikan pesona Xavi Hernandez atau Ricardo Kaka. Rakyat yang muak dengan polah konyol para wakilnya di DPR bisa terhibur jiwanya. Para pesohor yang sedang gundah dicecar gosip video panas bisa rehat sejenak dari kejaran pekerja infotainment yang bak mendapat durian runtuh atau gempuran oknum-oknum sok moralis, padahal kelakuan sosialnya pun amburadul. Pendeknya, semua problem menyingkir.
Khusus urusan sepak bola, Indonesia sekali lagi cuma mampu jadi penonton. Buruknya mutu kompetisi yang digelar PSSI membuat tim ”Merah-Putih”, jadi anak bawang pun belum mampu di kancah pergaulan internasional. Lelucon ala PSSI yang mencari jalan pintas dengan ikut bidding Piala Dunia 2022 pun kandas karena bahkan orang paling dungu sekalipun tahu aksi itu cuma akal-akalan rezim Nurdin Halid untuk mengalihkan problem bobroknya pembinaan sepak bola nasional.
Sementara itu, Afrika Selatan sudah tak sabar untuk mencatatkan diri dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Meski problem keamanan dan transportasi masih belum terpecahkan sepenuhnya, euforianya sudah menggema menyusuri sepanjang garis khatulistiwa. Presiden FIFA Sepp Blatter, meski dalam beberapa kesempatan sempat mengkhawatirkan soal isu keamanan dan transportasi, berkomentar positif untuk menyokong moral panitia Afrika Selatan. ”Hal terpenting, Piala Dunia kali ini akan membuktikan bahwa Afrika Selatan khususnya, dan Benua Afrika umumnya, mampu mengorganisasi kegiatan seagung ini,” paparnya.
Persis tiga tahun setelah babak kualifikasi dimulai, Jumat besok, 90.000 kursi di Stadion Soccer City, Johannesburg, dipastikan penuh sesak saat tuan rumah menghadapi Meksiko di laga pembuka. Setelah itu, sebanyak 63 pertandingan akan berlangsung di seantero Afsel mulai dari Stadion Peter Mokaba Polokwane di timur laut sampai dengan Stadion Green Point Cape Town di barat daya. Sebanyak 10 stadion akan menjadi pusat-pusat keriaan, drama, dan air mata, dan semuanya itu akan berpuncak di Soccer City, Johannesburg, pada 11 Juli.
Bagi Afsel, momen ini pasti sejarah emas. Tapi sejarah besar tak hanya bagi rakyat yang pernah merasakan pahitnya politik pemisahan warna kulit ini. Bagi sejumlah negara lain, Piala Dunia kali ini juga momen emas. Korea Utara, misalnya, merayakan kembalinya mereka ke pentas dunia setelah 44 tahun absen dan terkucil dari pergaulan internasional. Sedangkan Spanyol yang tak pernah merasakan manisnya menjadi juara dunia bertekad menyejajarkan diri dengan klub elite jawara dunia seperti Brasil, Italia, atau Jerman.
Piala Dunia sendiri merupakan sebuah sistem yang sudah berjalan sangat rapi dan bergulir tanpa rintangan. Sejak Perang Dunia II, tak ada satu perang pun yang mampu menghentikan guliran ajang akbar ini. Tak satu pun pergolakan politik, bahkan bencana alam paling dahsyat sekalipun, yang mampu menghentikannya.
Putaran final di Afsel ini bermula dari proses panjang kualifikasi tiga tahun lalu, tepatnya 25 Agustus 2007, saat Samoa jumpa Vanuatu di wilayah Oceania bertanding dengan kurang dari 100 penonton. Sejak itu, secara akumulatif, lebih dari 20 juta penonton berduyun-duyun datang ke stadion di 204 negara untuk menjalankan ”ritual sepak bola” secara langsung. Dari 204 negara, termasuk Indonesia yang tak mampu bicara banyak, terseleksi 32 negara elite untuk ikut pesta empat tahunan yang paling masyhur ini.
Jika Korea Utara kembali setelah 44 tahun dan Brasil tetap menjadi satu-satunya negara yang selalu ikut putaran final, Slowakia adalah pendatang baru di kancah ini. Sebanyak 31 negara lainnya paling tidak sudah pernah sekali merasakan hebatnya tampil di Piala Dunia.
Meski digelar di Benua Afrika, tak satu pun negara Afrika yang masuk dalam kategori favorit juara. Bahkan tuan rumah yang diisi oleh sebagian besar pemain muda hanya diprediksi lolos ke babak kedua. Adapun Aljazair, Nigeria, Kamerun, dan Pantai Gading hanya dijagokan sebagai ”kuda hitam”. Favorit juara masih menjadi dominasi Eropa dan Amerika Latin, khususnya Spanyol dan Brasil di posisi teratas, disusul Inggris, Italia, dan Argentina di level kedua.
Spanyol barangkali menjadi negara yang paling disorot berkat penampilan mereka yang luar biasa sejak menjuarai Piala Eropa 2008. Dengan tim yang semakin matang, pelatih berpengalaman Vicente del Bosque, serta sejumlah bintang kelas elite dunia seperti Xavi, David Villa, dan Fernando Torres, memang tak ada momen yang paling pas bagi mereka untuk menjadi juara di Afsel.
Inggris juga punya peluang untuk membuktikan bahwa mereka layak disebut kiblat sepak bola dunia. Setelah tahun 1966, Piala Dunia bukanlah tempat yang nyaman bagi pasukan ”Three Lions”. Kini, dengan sentuhan midas Fabio Capello, mereka bertekad membawa pulang trofi, seperti saat mereka rebut di Wembley, 44 tahun lalu.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/10/06090719/bulan.keramat.pencandu.bola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar