Jumat, 11 Juni 2010

haa iki Giwangan, Oh... Giwangan Riwayatmu

Giwangan, Oh... Giwangan Riwayatmu
Jumat, 11 Juni 2010 | 11:25 WIB

Ibarat seorang putri, tak ada yang menyangsingkan kecantikan Terminal Tipe A Giwangan, Yogyakarta. Bangunan megah dengan berbagai fasilitas lengkap sebagai penunjangnya membuat terminal-terminal lain boleh iri. Tak heran jika banyak harapan disandarkan padanya saat resmi dioperasikan 8 Agustus 2004 silam.
Selain berfungsi menggantikan terminal lama Umbulharjo yang telah jenuh kala itu, terminal seluas 5,8 hektar tersebut juga digadang-gadang mampu menjadi katalisator penggerak perekonomian Yogyakarta selatan yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan utara.
Harapan setinggi langit itu kiranya wajar jika menyimak biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan terminal yang tak kurang dari Rp 119 miliar tersebut. Dana itu merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kota Yogyakarta dengan PT Perwita Karya sebagai investor.
Namun, harapan tinggal harapan. Kini Giwangan menghadapi kenyataan bahwa ia tak berdenyut seperti yang diimpikan. Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebabnya, mulai dari kolapsnya bisnis transportasi bus, tata ruang terminal yang salah, hingga mitos tentang nasib wilayah yang terletak di selatan Keraton Yogyakarta yang memang ditakdirkan "sepi".
Hal itu setidaknya terlihat dari masih kosongnya area komersial di dalam terminal. Dari 550 kios yang ada, yang terisi baru 206 kios atau 37 persen saja. Rolling door kios-kios yang tutup menjadi pemandangan lazim di sana.
Tata ruang terminal yang tidak mendekatkan arus orang dengan berbagai aktivitas usaha dinilai menjadi sebab sepinya kios-kios. Banyak penumpang juga memilih mencegat atau turun dari bus di luar terminal.
Dari catatan Unit Pelaksana Teknis Pengelola Terminal Giwangan, saat ini jumlah penumpang hanya berkisar 6.600 orang per hari. Dari catatan Kompas, pada awal-awal pengoperasian terminal, jumlah penumpang mencapai rata-rata 8.000 orang per hari.
Ari (44), salah satu agen bus resmi yang menempati kios di lantai dua terminal, mengakui kondisi itu. "Dulu, di terminal lama, sehari bisa dapat 50 penumpang. Sekarang bisa dapat sepuluh saja sudah bagus," ujarnya.
"Terminal sih memang bagus, tapi rezekinya gak bagus. Mendingan (terminal) biasa-biasa saja, tapi rezekinya bagus. Di sini ramai kalau liburan atau Lebaran saja," kata Juni (30), agen bus antarkota antarprovinsi lainnya.
Kepala UPT pengelola Terminal Giwangan Imanudin Aziz, akhir pekan lalu juga mengakui, dari sekitar 3.000 bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang memiliki izin trayek di Giwangan, hanya sekitar 1.000 yang beroperasi di terminal.
Namun, ini bukan karena faktor terminal saja, melainkan lebih karena faktor eksternal karena banyak pengusaha bus yang tidak mengoperasikan busnya akibat bisnis transportasi yang tengah menurun," ujar Imanudin.
Pengembangan terminal sedikit banyak juga terkendala konflik antara Pemkot dengan pengelola terminal sebelumnya, PT Perwita Karya. Seperti diketahui, Pemkot mengambil alih Terminal Giwangan dari PT Perwita Karya pada 10 Maret 2009. Namun, kedua belah pihak hingga kini belum bersepakat terhadap beberapa poin pengambilaihan aset.
Kasus itu saat ini masih diproses dalam pengadilan perdata. Meski demikian, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto telah memiliki wacana untuk memperkaya Giwangan dengan berbagai fungsi tambahan guna meningkatkan daya tarik dan keramaian terminal. Salah satunya yakni membangun pusat taman permainan anak di salah satu lahan kosong sebelah selatan terminal. Mudah-mudahan.
Pada 8 Juni kemarin, Terminal Giwangan memperoleh anugerah Plakat Adipura sebagai salah satu terminal terbersih di Indonesia. Mudah-mudahan juga itu bukan sindiran atas "bersihnya" terminal dari aktivitas dan geliat produktif yang lazim terlihat di terminal- terminal lainnya. (ENG)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/11/11255077/giwangan.oh....giwangan.riwayatmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar