Sabtu, 05 Juni 2010

haa iki Nurani dan Akal Sehat di DPR

KOLOM POLITIK-EKONOMI
Nurani dan Akal Sehat di DPR
Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:12 WIB

Oleh ANDI SURUJI
Sangat sedikit profesi seperti menjadi anggota DPR. Panggilan mereka saja sering, kalau tidak selalu, melekat sebagai ”anggota Dewan yang terhormat”. Mungkin hanya majelis hakim persidangan suatu perkara di pengadilan yang juga disapa terhormat sebagai pesaingnya.
Meski demikian, kita acap kali melihat sikap dan perilaku anggota Dewan yang kurang menempatkan kehormatannya di posisi tinggi itu. Sekadar menyebut contoh, anggota Dewan saling memaki dan saling merendahkan, bahkan hendak saling serang secara fisik, di persidangan atau rapat, padahal ditonton secara luas oleh rakyat melalui siaran langsung stasiun televisi. Ada pula anggota Dewan yang terkesan suka merendahkan narasumber yang diundangnya sendiri untuk rapat.
Ada juga kasus hanya karena surat Dewan dibalas oleh pejabat yang bukan direksi, lalu menjadi persoalan besar. Padahal, dalam urusan surat-menyurat, sejauh surat itu menggunakan kop resmi perusahaan, stempel, dan bernomor, bukankah itu sudah merupakan simbol institusi, lembaga tertinggi dalam suatu entitas bisnis?
Politisi di DPR sering kali terkesan cemen, bahkan semakin cengeng, dikit-dikit ngambek, merasa direndahkan, disepelekan, tidak dihargai, dan sebagainya. Padahal, tidak jarang terlihat secara kasatmata dan terbaca secara tersurat ataupun tersirat justru mereka jualah yang melecehkan dirinya dan lembaganya yang ”terhormat” itu.
Mereka lebih menghargai dan mendahulukan hal-hal yang prosedural dan sensasional ketimbang substansional. Ah, mungkin karena sensasi mendapat perhatian luas ketimbang substansi walaupun dengan polesan-polesan pembentukan citra yang ”seolah-olah”. Yaaaa, seolah-olah mereka hebat, berbobot, padahal omong besar. Seolah-olah mereka pintar, padahal omong kosong. Berdebat panjang lebar soal prosedur, padahal jauh lebih penting memperdebatkan substansi persoalan kepentingan rakyat banyak, bangsa, dan negara.
Karena itu, persoalan yang hiruk-pikuk diperdebatkan, diperjuangkan seolah-olah sampai mati, padahal di tengah jalan toh bakal mati angin dan masuk angin. Bahaya kalau sering-sering masuk angin! Perut bisa kembung, mencret-mencret, demam, dan muntah-muntah. Apalagi, kalau kelamaan berada di ruang ber-AC yang sangat dingin sehingga harus berjas terus-menerus—ketimbang bergelut di lapangan kumuh menjumpai konstituen sehingga merasakan betul denyut kehidupan rakyat—bisa pusing, mual, lalu muntah.
Padahal, seharusnya begitu dilantik menjadi anggota Dewan, dia bukan lagi politisi yang menghalalkan segala acara, cengeng, dan cemen, sejatinya mereka adalah negarawan. Ya, negarawan sejati. Bukan negarawan seolah-olah atau seolah-olah negarawan. Negarawan tidak lagi memikirkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Kalau ada politisi yang masih memikirkan dirinya sendiri, mungkin dia memang hanya job seeker yang salah persepsi mengira kedudukan dan status sebagai anggota Dewan sebagai lapangan kerja.
Salah satu penyakit lain anggota Dewan adalah seolah-olah merekalah yang harus mengatur negara ini. Contohnya, rapat membahas anggaran sampai sedetail-setailnya sehingga menimbulkan kerumitan tersendiri. Padahal, dengan membahas anggaran sedetail-detailnya, pembahasan APBN menjadi lebih lama dan menguras tenaga. Dan, paling bahaya adanya peluang dagang proyek yang bakal dibiayai anggaran yang dibahas tersebut.
Lebih celaka lagi kalau ada anggota parlemen merasa dirinyalah yang memacu peningkatan ekspor atau meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Lalu, karena itu, mereka merasa harus pula memiliki anggaran sendiri untuk membiayai aktivitasnya. Padahal, negara sudah mengongkosi hidupnya dengan memadai. Mereka lupa, DPR cuma bekerja lima tahun, setelah itu pensiun dan menikmati begitu banyak fasilitas.
Tak heran jika seorang guru pensiunan kesal melihat tingkah polah anggota DPR sekarang. Di otaknya hanya seolah uang dan uang. Belum kerja apa-apa sudah mewacanakan kenaikan gaji. Sekarang muncul lagi wacana dana aspirasi, yang ujung-ujungnya masuk kantong pribadi juga. Lebih dari itu, sudah menyalahi kodratnya. Mengurusi dan melaksanakan anggaran berarti sudah mengambil pekerjaan eksekutif. Salah kaprah total.
Cuma bekerja lima tahun mendapat gaji luar biasa besar, fasilitas macam-macam, uang telepon, uang parkir, bahan bakar, uang jas, uang dasi, uang celana dalam, uang makan, uang transpor, serta tunjangan rumah dan listrik. Begitu komentar seorang pensiunan guru yang telah berbakti mencerdaskan anak-anak bangsa, termasuk mereka yang jadi presiden, menteri, dan anggota DPR.
Coba pikir dan timbang rasakan! Guru yang bekerja 35 tahun sampai pensiun, berapa gajinya sebulan? Tidak sedikit yang harus berprofesi ganda menjadi tukang ojek, tukang pungut sampah, sekadar untuk tetap menyambung hidup. Di luar sana begitu banyak orang miskin dan menganggur.
Anggota DPR, meskipun masa baktinya hanya lima tahun dengan berlimpah segala fasilitas dan kemewahan, masih juga minta anggaran ”dana aspirasi”, yang berpeluang bermuara di kantong pribadi, apa kata dunia?
Mari kita rasakan, apakah moral, nurani, etika, dan akal sehat di DPR masih hidup? Atau sudah mati rasa?

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/05/03120751/nurani.dan.akal.sehat.di.dpr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar