Sabtu, 05 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 29

Aku Mata Hari (29)
Sabtu, 5 Juni 2010 | 02:48 WIB
Oleh Remy Sylado
Tidak satu pun setan—jika Tuhan maha esa maka setan maha dua—yang boleh mengubah pikiranku. Jika surga benar ada, maka hatiku adalah surgaku.
Aku duduk di depan jendela, memandang ke luar sana, ke kawanan burung bangau yang meninggalkan danau Rawa­pening. Setelah itu aku termenung merenung hari-hari lalu yang takkan mungkin kembali. Selalu, hari-hari kemarin membangkitkan warna biru haru, sementara hari-hari besok seperti kabut yang membawa warna abu-abu, gerangan menjanjikan rahasianya antara keinginan dan kemauan untuk hidup, sembari tidak pernah mengerti apa guna hidup.
Aku bercakap pada diriku sendiri, pikiranku mengimbau pada perasaan, akal mengimbau pada kalbu:

Kepada yang terhormat nuraniku
apa betul tanahair ibuku, Indonesia
dicipta untuk menadah keringat kemarahan betina
yang tertindas, meratap, namun tak terkalahkan

Di tepian danau Rawapening ikan kecil tak tahu
sebentar lagi berpindah ke perut bangau
dibawa terbang sampai ke gunung perjanjian azab

Siapa peduli dalam peduliku pada janin
di rahim yang besok berubah jadi bayi
yang tidak mengerti jalan masuknya
sedang ayahnya bolak-balik keluar di rute itu
mencari surga yang bertetangga dengan neraka

Aku menunggu bunyi sipongang masa lalu
berangkat ke tempat datang matahari
yang takkan pernah terbenam.

14
Malam pun berlalu tanpa huruf-huruf.

Sepanjang malam, baik hatiku maupun hatinya sama-sama mengeram rasa tenahak, atau entah benci, atau entah kesumat, yang demikian teruk terpancar di wajah kami masing- masing.
Di luar, keadaan terasa benar- benar sunyi-senyap justru karena ada selingan bunyi jangkrik- jangkrik di samping rumah, ngorek kodok-kodok di belakang rumah, serta gonggong anjing- anjing di depan kiri-kanan rumah. Di dalam sepi begini bunyi hewan-hewan itu tersaring jelas di telinga.
Sampai pagi tiba, dia tidak bicara, aku tidak bicara, kami sama-sama memilih tidak bicara, membuat diri kami bagai patung-patung bernyawa. Satu-satunya suara manusia yang ada, dan berkali-kali menggema menembusi kesepian di antara bunyi hewan-hewan, adalah suara tangis Norman John. Sulit membujuk bayi yang sedang menangis seru dalam suasana tak damai di hati kedua orang tuanya. Aku kewalahan.
Pagi-pagi Ruud bangun, berkemas pergi tanpa basabasi sebagaimana yang biasa dilakukannya kalau hendak meninggalkan rumah: mencubit-cubit pipi gembul Norman John. Kalau pagi ini dia tidak melakukan itu, berarti dia sedang membagi bencinya selain terhadap ibu bayi itu juga terhadap bayi itu sendiri: suatu tindakan yang samasekali harus dicela.
Dia keluar dari rumah, menginjak undak-undakan rumah dengan langkah tergesa-gesa ke arah utara, seakan-akan dikejar setan, dan bahkan tidak hirau pada seseorang yang berpapasan dengannya menuju ke selatan sambil memberi tabik kepadanya:
”Goede morgen.”
Ruud cemberut, tidak hirau pada sapaan orang itu.
Orang yang disebut ini panggil-panggilannya Didik—dari nama asli Hendrik yang berubah menjadi Endik—adalah pribumi asal Minahasa, salahsatu suku dari bangsa Indonesia yang oleh alasan-alasan tertentu pemerintah kolonial—antara lain warna kulit yang kuning dan keyakinannya yang sama dengan orang Belanda—menjadi ujungtombak pemerintahan kolonial untuk tidak mengatakan ’antek’ yang mengurus pelbagai keperluan tuan-tuannya.

56) Selamat pagi

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/05/02480649/aku.mata.hari.29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar