Senin, 07 Juni 2010

haa iki Pentas Pamit Mati Ketoprak Tobong


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya tampil pada pentas pamit mati dengan lakon Ronggolawe Gugur di Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Senin (31/5) malam.
 
SENI TRADISI
Pentas Pamit Mati Ketoprak Tobong
Senin, 7 Juni 2010 | 06:29 WIB

OLEH IDHA SARASWATI

Di samping panggung yang berdiri di tengah Alun-alun Selatan, Yogyakarta, diletakkan dua karangan bunga dukacita. Pada karangan bunga itu tertulis: ”Turut Berduka Cita atas Bergugurannya Budaya Tradisional Bangsa Indonesia”. 
Dua karangan bunga duka itu dikirim Sonny Persada Jakarta dan www.wacananusantara.org sebagai wujud simpati bagi anggota kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya. Senin (31/5) malam, kelompok ini mengadakan prosesi pamit mati dengan lakon Ronggolawe Gugur.
Pentas malam itu bisa jadi adalah pentas penghabisan Kelana Bhakti Budaya. Mereka nekat tampil di antara warga Yogyakarta yang tengah asyik dengan kegiatan masing-masing di Alun-alun Selatan. Ada yang berseliweran dengan sepeda sewaan, ada juga yang asyik mencoba masangin (ritual masuk di antara dua pohon beringin).
Berbeda dengan tradisi pentas tobong pada umumnya, malam itu Kelana Bhakti Budaya pentas di panggung terbuka. Para pengrawit dengan seperangkat gamelan berada di samping panggung. Dua tonil (dekorasi berbentuk kain dinding) bergambar pemandangan alam dan suasana kerajaan, yang biasa jadi latar panggung, justru dipasang terpisah di sudut alun- alun. Tonil-tonil itu ternyata lebih menarik perhatian warga untuk obyek foto. Situs jejaring sosial adalah ruang ”pamernya”.
Di depan panggung, sekitar 200 penonton duduk di tanah. Mereka umumnya pegiat seni yang mendengar kabar tentang pentas pamit mati Kelana Bhakti Budaya dari mulut ke mulut.
Bagi Kelana Bhakti Budaya, pamit mati menjadi pilihan terakhir menyikapi kondisi mereka saat ini. Dalam usia hampir 10 tahun, Kelana Bhakti Budaya menyerah. Kelompok ini tak mampu lagi menghidupi anggotanya, juga seni yang digeluti.
Kelana Bhakti Budaya adalah kelompok ketoprak tobong dari Kediri, Jawa Timur, yang dikelola Dwi Tartiyasa. Seperti umumnya kelompok seni tobong, mereka pun hidup berpindah-pindah dengan membawa panggung dan sejumlah perlengkapan anggotanya yang berjumlah 25 orang.
Mengawali pengembaraan di Jawa Timur, mereka pernah menyambangi Magetan, Cepu, Ngawi, Nganjuk, dan Tulungagung. Di tempat-tempat itu, sambutan penonton makin sepi.
Menyadari kondisi itu, enam tahun lalu mereka memutuskan mengembara ke Yogyakarta. Dalam benak mereka, Yogyakarta adalah pusat budaya di Indonesia. Di Yogyakarta pula mereka berharap bisa menarik penonton sehingga dapat bertahan hidup lebih lama. Selama pengembaraan di Yogyakarta, mereka menyinggahi sejumlah desa. Terakhir, sejak delapan bulan lalu mereka tinggal di salah satu sudut lapangan Jodog, Gilangharjo, Pandak, Bantul.
Pada malam hari mereka naik panggung sebagai raja dan ratu dengan busana berkilauan. Setelahnya, di bawah panggung, mereka kembali hidup di bilik- bilik bambu berukuran 3 meter x 3 meter beralaskan tanah. Pada musim hujan, tanah becek menjadi lantai rumah mereka.
Risang Yuwono, putra Dwi Tartiyasa, menuturkan, dalam siklus normal ketoprak tobong biasanya tinggal di satu lokasi maksimal tiga bulan. Namun, keterbatasan biaya membuat Kelana Bhakti Budaya berada di satu lokasi hingga setahun.
”Biaya pindahan mencapai Rp 18 juta-Rp 20 juta, itu untuk membongkar tobong hingga menyewa truk. Kami semakin kesulitan mendapat biaya untuk pindah,” katanya.
Menurut Risang, sejak dikelola ayahnya, kelompok ini naik panggung dengan bersandar pada donasi sejumlah orang yang peduli pada kelestarian seni tradisi. Mereka menyumbang untuk memindahkan tobong dari satu lokasi ke lokasi lain.

Kehilangan penonton

Ketoprak tobong masa kini memang tak bisa lagi hidup mandiri. Mereka sudah kehilangan penonton. Setiap kali pentas, jumlah penonton hanya puluhan, bahkan pernah hanya empat orang. Dengan tiket Rp 5.000 per orang, pendapatan dari tiket tidak pernah bisa menutup biaya operasional. Padahal, mereka harus menjamin hidup para pemain setiap harinya.
Risang mengatakan, Kelana Bhakti Budaya telah mencoba bertahan karena melihat semangat para pemain yang masih ingin menghidupi ketoprak. Namun, kini mereka sudah tak lagi sanggup terus bertahan. Mereka sudah sekarat sejak lama dan memutuskan pamit mati.
Para pemain pun sudah pasrah. Mereka mulai menyadari, era ketoprak tobong sudah lewat. Andai bisa memilih, antara bertahan atau mati, mereka sesungguhnya memilih bertahan. Apa pun kondisinya.
”Saya lahir di sini. Selama ini masih bisa hidup, saya akan tetap main ketoprak. Namun, kalau akhirnya harus mati, saya akan pulang ke Tulungagung. Mungkin saya hanya bisa melamun dalam waktu lama,” tutur Bandung Bondowoso (23), pemain yang lahir dalam ”ziarah” kelompok ini di Magetan.
Dalam dunia ketoprak tobong, nasib tragis Kelana Bhakti Budaya sesungguhnya bukan cerita baru. Di Yogyakarta, kelompok ketoprak tobong terakhir, yakni Sapta Mandala, bahkan sudah punah tahun 1994.
Bondan Nusantara, seniman Yogyakarta yang pernah jadi sutradara ketoprak tobong Sapta Mandala, menuturkan, era ketoprak tobong memang sudah lewat. ”Ketoprak tobong tidak mungkin lagi hidup di Yogya karena ongkos produksi dibanding pendapatan tak sepadan. Penonton sudah pergi,” ungkapnya.
Sajian ketoprak tobong sudah tak lagi sesuai selera masyarakat yang kian industrialistik. Pilihan jenis hiburan kian beragam. Jika mau bertahan, ketoprak tobong mesti berinovasi agar bisa menangkap selera masyarakat. Namun, diakui, itu tidaklah mudah.
Meski begitu, jeritan putus asa Kelana Bhakti Budaya tetap perlu didengarkan. Menurut Bondan, seni tradisi apa pun bentuknya tidak bisa dibiarkan bertempur sendirian melawan industrialisasi. Pemerintah harus turun tangan. Bukan untuk menyelamatkan seniman, melainkan menyelamatkan kesenian dan kebudayaan.
Bagi Kelana Bhakti Budaya, pentas pamit mati yang disusul dengan topo pepe itu dipersembahkan kepada raja dan warga Yogyakarta. Di depan mereka, satu lagi kelompok seni tradisi meregang nyawa. Tidak terdengar satu tangis pun untuknya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/07/06293453/pentas.pamit.mati.ketoprak.tobong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar