Kamis, 10 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 33

AKU MATA HARI
Rabu, 9 Juni 2010 | 03:17 WIB

Remy Sylado
Kira-kira dengan perasaan ini, hubungannya pas dengan pandanganku sendiri selama ini, tentang keutamaan maknawi atas kata ’kemanusiaan’ ketimbang ’kebangsaan’.
Lihat saja diriku. Siapa sebetulnya aku? Ayahku seorang Fries, dan dengannya, seperti semua orang yang berasal dari provinsi Friesland, tetap merasa bukan bagian dari bangsa Nederland. Kemudian anakku, dari perkawinan dengan orang Skot, harus disebut apa keorangannya? Orang Skot, sebagaimana umumnya mereka yang berasal dari wilayah Skotland, memang berbahasa Inggris, tapi mereka tidak merasa bagian dari bangsa Inggris. Lalu aku siapa pula, kalau ibuku berasal dari tanah tempat aku berdiri saat ini, daerah Borobudur, puser kebudayaan Jawa nan adiluhung. Jadi, tak ragu lagi, aku adalah manusia, dan aku sedang berada di tengah-tengah manusia.
Lusa itu aku akan menari di depan orang-orang yang memerintah. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang selalu akan merangsang untuk terus mengulanginya. Sudah tentu aku tak mau gagal. Aku ingin orang-orang penting yang menyaksikan tarianku akan terkesan.
Kata Mbah Kung, ”Gambaran tari kembar bisa dipelajari rohnya dari dinding Candi Borobudur.”
Aku ingin tahu gambaran yang mana itu.
Tadi pagi aku bangun sebelum fajar di ufuknya. Menjelang sinar matahari masuk ke rumah kecilku, aku mandikan Norman John, siap-siap berangkat ke Candi Borobudur. Aku ke situ ditemani Astri. Tak mungkin aku bisa langsung menemukan relief yang menggambarkan tarian dua perempuan yang dimaksud Mbah Kung di candi yang begini besar, kalau tidak diantar oleh orang yang sudah hafal betul tempat-tempatnya.
Astri mengantar aku ke galeri kedua, pada dinding utama, Gandavyuha, yang seluruhnya terdiri dari 128 panel. Di situ terlihat relief dua orang penari perempuan bertelanjang dada di sebelah kanan, menghadap ke pemimpin tari di tengah-tengah. Aku tidak tahu di mana letak kecanggungan relief ini. Astri yang menerangkannya.
Agak sulit aku memahaminya, karena dia menerangkan dengan bahasa Jawa kromo-deso, dan meskipun aku sangat suka belajar bahasa, memang aku mengakui kali ini repot. Masih untung dia bicara sambil menunjuk-nunjuk ciri busana yang dikenakan oleh sosok-sosok dalam relief itu. Ketika menunjuk- nunjuk sosok kedua penari, dia menyebut-nyebut kata ’Buddha’, dan ketika dia menunjuk-nunjuk sosok pemimpin tari, dia menyebut-nyebut ’Hindu’.
”O? Aku mengerti,” kataku. ”Kamu bermaksud mengatakan relief ini aneh, sebab di Candi Borobudur yang Buddha, ada sosok berbusana Brahma.”
”Ya, ya, ya,” kata dia.
Tarian seperti itu kiranya yang diharapkan oleh Mbah Kung untuk kami lakukan. Di relief ini tergambar, kedua penari memiringkan kepala ke kanan nyaris mendangak, tangan kanan dinaikkan dengan sikut setinggi kepala dan ujung tangan masing-masing jatuh di bawah dagu, lalu tangan kiri diulurkan lurus ke ujung luar mengena lutut kaki kiri yang dinaikkan sampai segaris payudara.
Ini adalah posisi diam. Aku menyebutnya dalam bahasa Belanda ’stilstand’. Kalau aku diharapkan bisa melakukan tari dengan bertolak pada stilstand ini, aku kira, yang pertama harus dipikirkan adalah menafsir gerak sebelumnya dan gerak sesudahnya. Hanya dengan dua tafsiran itu, aku kira, aku sudah menemukan bagan gerak-gerak yang bersinambung. Dalamnya tercipta melalui imajinasi—lagi- lagi aku harus memakai kata ini—tentang suatu kesinambungan gerak-gerak yang indah dan kemudian menjadi utuh sebagai sebuah wujud kesenian.
Tinggal bagaimana aku bisa mencipta kesenian tersebut dengan tubuh disertai roh dan jiwa, di hadapan tuan-tuan yang bakal datang ke Borobudur sini pada besoknya besok. Pertanyaan dalam diriku: seperti apa— bukan siapa—Raja Jawa dari Yogyakarta dan seorang Belanda yang namanya sama dengan nama Menteri Urusan Koloni dari Batavia itu? Dan jawabku sendiri: seperti apapun—bukan siapapun—mereka, aku harus membuat mereka terkesan. Itu adalah ambisi satu-satunya yang dibenarkan dalam semua seni- pertunjukan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/09/03174414/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar