Jumat, 11 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 35

AKU MATA HARI
Jumat, 11 Juni 2010 | 05:59 WIB

Sebab, dalam percakapan yang berlangsung di tempat yang agak jauh dari rombongan kraton, Cremer selalu mencuri- curi pandang di gelap malam yang diterangi obor-obor, melihat payudaraku.
Dia memulai percakapan dengan memuji sembari tidak yakin akan apa yang diucapkannya.
”Kamu bisa menari Jawa dengan baik.”
Aku menanggapi pernyataannya dengan senyum alakadar, menyadari bahwa dia seorang kolonialis.
Lalu dia melanjutkan dengan pertanyaan yang kelihatannya, ah, aku tidak punya kata bahasa Belanda ini dalam bahasa-bahasa yang lain, yaitu nuchter: seakan-akan bijak, seakan-akan obyektif, tapi dingin, dan tidak mabuk.
”Boleh saya tahu, dari mana asalmu?”
Aku menjawab tak sesuai dengan yang dia maui.
”Saya tinggal di Ambarawa.”
”Maksud saya, asalmu di Belanda. Dari mana asalmu di sana?”
”Saya lahir di Leeuwarden.”
”Hm, Friesland?”
”Ya.”
”Hm. Saya pernah membeli topi di Leeuwarden.”
”Benarkah?”
”Ya. Kenapa?”
”Perusahaan topi itu sudah lama bangkrut.”
”Bagaimana kamu tahu?”
”Itu adalah perusahaan topi milik ayah saya.”
”Astaga. Betapa kecilnya dunia.”
Aku ketawa, prihatin. Mudah- mudahan ketawaku yang prihatin begini tidak kelihatan tolol.
Secepatnya Cremer bertanya, ”Siapa namamu?”
Secepat itu pula aku menjawab, ”Mrs MacLeod.”
Cremer nampak tegang.
”Oh? Suamimu orang Inggris?”
”Skot.”
”Hm. Kamu Mrs MacLeod. Lantas mana Mr MacLeod- nya?”
”Untuk saat ini saya tidak peduli dia di mana.”
Cremer nampak kendor.
”Hei. Kamu punya masalah dengan suamimu?”
Aku merasa tidak perlu menjawab, memastikan dia akan bertanya lagi, dan memang benar.
”Apa yang terjadi?”
Aku berpikir untuk mengujinya.
”Kalau saya jawab, Anda toh tidak mungkin bisa menolong.”
Cremer memegang kedua tanganku. Sepintas kelihatannya dia hendak menunjukkan kesan seorang ayah kepada anak. Tapi aku tidak yakin sikap ini polos. Aku malah yakin itu akting. Alasannya, dia melakukan ini sembari makin penasaran mau melihat payudaraku. Bersamaan dengan itu terasa juga getaran tertentu di tangannya yang membuatku gugup.
”Kenapa tidak? Saya siap menolongmu. Apa yang terjadi dengan dirimu?”
”Biasa,” jawabku. ”Urusan rumahtangga. Dia tua, saya muda.”
”Ya, ya, ya,” kata Cremer sok-tahu. ”Itu masalah berat. Saya bisa mengerti. Kamu masih bergelora, sementara suamimu pasti sudah loyo.”
Nah, kan? Pikirannya ngeres.
”Bukan itu, Tuan Cremer.”
”Lantas apa? Beri tahu saya. Saya pasti akan menolongmu.”
”Benarkah?”
”Tentu saja.”
”Baiklah. Kalau bisa, suami saya itu dipindahkan dari Ambarawa.”
”Memangnya siapa suamimu itu?”
”Dia opsir, Tuan Cremer.”
Dengan enteng Cremer berkata, ”Itu gampang. Kamu ingin dia dipindahkan ke mana? Batavia?”
”Terserah Anda, Tuan Cremer.”
”Akan saya lakukan. Dalam pada itu, saya ingin mengontak kamu nanti secara langsung. Tulis alamat dan nama gadismu. Siapa nama gadismu?”
”Margaretha Geertruida Zelle.”
”Hm. Ya, ya, ya. Saya ingat nama keluargamu itu. Zelle. Merek topi itu. Kalau sampai kamu pindah ke Batavia, saya perlu kamu, untuk bekerja pada saya.”
”Terimakasih, Tuan Cremer.”
Aku bergerak hendak berlalu.
”Tunggu,” kata Cremer.
”Ya, Tuan Cremer,” kataku, berbalik.
Cremer menarik tanganku, memegang pinggangku, lantas mengecup pipiku. Cara kecupnya sangat Belanda, yaitu tiga kali: sun pipi kiri, sun pipi kanan, dan sun pipi kiri lagi.
Setelah itu, sambil tetap memegang pinggangku, melihat payudaraku, dia bertanya:

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/11/05594755/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar